Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri. Bapaknya, sopir angkot yang tak bisa mengingat tanggal lahirnya. Sementara ibunya, tidak tamat Sekolah Dasar.
Ia tumbuh besar bersama empat saudara perempuan. Tak ada mainan yang bisa diingatnya. Tak ada sepeda, tak ada boneka, hanya buku-buku pelajaran yang menjadi "teman bermain"-nya. Di tengah kesulitan ekonomi, bersama saudara-saudaranya, ia mencari tambahan uang dengan berjualan di saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar. Pendidikanlah yang kemudian membentangkan jalan keluar dari penderitaan. Dan kesempatan memang hanya datang kepada siapa yang siap menerimanya. Dengan kegigihan, anak Kota Apel dapat bekerja di The Big Apple, New York.
Sepuluh tahun mengembara di kota paling kosmopolit itu membuatnya berhasil mengangkat harkat keluarga sampai meraih posisi tinggi di salah satu perusahaan top dunia. Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York dapat mengobati kenangan yang getir. Sebuah peristiwa mengejutkan terjadi dan menghadirkan seseorang yang membawanya menengok kembali ke masa lalu. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.APA KATA MEREKA :
Bundelan kertas penting yang disesaki hikayat kerja keras, kehangatan keluarga, dan perantauan. Sungguh sebuah praktik man jadda wajada yang terang. Selamat mereguk semangat perjuangan dan kesabaran anak sopir angkot di sudut Jawa Timur yang berkilau di New York. Inspiratif.
–A. Fuadi, Penulis best seller trilogi Negeri 5 Menara
….most of all it is a story of dreams come true, sharply focused by a person who knows what he wants. Certainly very relevant in today’s world which needs the dose of positive energy that Mr Iwan Setyawan delivers.
–Wimar Witoelar, Authority in journalism, public relations and communication
Menggugah. Iwan berhasil membahasakan dengan ringan dan renyah bahwa pendidikan dan determinasi hidup adalah sahabat sejati perbaikan nasib manusia.
–Anas Urbaningrum, Penulis, pencinta kuliner nusantara, politisi
Kisah Iwan menjadi bukti nyata tentang efek pendidikan.
–Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dan Ketua Indonesia Mengajar
“Sebuah buku wajib untuk generasi muda Indonesia. Sebuah kisah inspiratif yang mengingatkan kita untuk selalu berikhtiar dan ‘berlayar, terus berlayar, jangan hanya tunggu keajaiban untuk datang’. Sebuah pesan untuk selalu mensyukuri orang-orang di sekitar kita. Membuat kita senantiasa ingin sungkem kepada kedua orang tua.” - Mohamad Al-Arief (Direktur Indonesia Relief-USA, Washington DC)
“Menggugah. Satu kata untuk novel ini. Iwan berhasil membahasakan dengan ringan dan renyah bahwa pendidikan dan determinasi hidup adalah sahabat sejati perbaikan nasib manusia. Bagi yang menghajatkan inspirasi, novel ini adalah jawabannya” - Anas Urbaningrum (Penulis, pencinta kuliner nusantara, Politisi)
“Novel ini tidak bercerita tentang mimpi, tetapi tentang keberanian untuk menembus batas ketakutan. Kisah luar biasa yang diceritakan dengan lugas dan sederhana.“ E.S ITO (Penulis best seller Negara Kelima dan Rahasia Meede)
“9 Summers 10 Autumns adalah novel rekonsiliasi masa lalu dan masa depan. Jika masa kini tantangan dan masa depan adalah kegelapan misteri, maka apa kekayaan terindah kita bila bukan masa lalu, biarpun kegetiran masih tergores di sana?“ Mohamad Sobary (Mantan direktur Kantor Berita Antara, budayawan, tokoh NU)
“This is a story of classical motivation and the rewards and tribulations that come to people who have the perseverance to pursue their dreams. It is particularly compelling because the book addresses issues of cultural adaptation, the underlying moral of the story. It happens to be placed in the context of two very different cities, Malang and New York, that have opposing yet complementary cultural features. But most of all it is a story of dreams come true, sharply focused by a person who knows what he wants. Certainly very relevant in today’s world which needs the dose of positive energy that Mr Iwan Setyawan delivers.” Wimar Witoelar (Authority in journalism, public relations and communication)
“Pendidikan bukan saja mencerdaskan. Pendidikan adalah eskalator. Dia mengangkat derajat sosial ekonomi. Dia membukakan pintu-pintu baru untuk meraih kemajuan. Pendidikan adalah kunci dibalik keberhasilan Iwan.
Orang-tuanya supir angkot, anaknya direktur di salah satu perusahaan paling terkemuka dunia, berkantor di New York.
Kisah Iwan menjadi bukti nyata tentang efek pendidikan. Karena itu, berikanlah akses pendidikan berkualitas pada setiap anak Indonesia. Tidak peduli anak miskin atau kaya, anak kota atau desa. Keterdidikan mereka akan membawa Indonesia menuju pada cita-citannya.
Iwan dari Kota Batu adalah bukti dan dia adalah inspirasi, bacalah novel ini dan kita akan merasakan optimisme itu tumbuh merekah” Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina dan Ketua Indonesia Mengajar)